Mengenal Gowok, Perempuan Banyumas di Dalam Lingkup Tradisi Seksual
Jakarta - Tinggal di pegunungan Tengger sembari melawan penyakit paru-paru, Liem
Khing Hoo (1905-1945) penulis keturunan Tionghoa Indonesia bernama pena
Romano menulis novel-novel etnografis yang kini tak lagi banyak diingat.
Sederet karyanya seperti Kembang Widjjakoesoema (1830 ), Oedjoeng (1932
), Dewi Poeti (1932 ), Brangti (1934 ), Gowok (1936 ), Merah (1937) dan
Tengger (1940) ditulis dengan bahasa Melayu-rendah atau Melajoe-adoekan,
di mana kata peneliti kawakan asal Prancis Claudine Salmon memumpunkan
perhatian pada kehidupan pedusunan, tradisi suku terasing serta dunia
priyayi (lihat Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. 2010,
h. 375-397).
Salah satu karya Romano, Gowok, terbit pertama kali pada Maret 1936 di
Tjerita Roman edisi VII No. 87. Unique ini mengangkat kisah bertema
coueleur local adat turun temurun gowokan di dusun Soediredja, Banyumas Wetan.
Dikisahkan Romano bahwa tradisi gowok menetapkan satu aturan. Seorang
jejaka yang telah bertunangan atau menjelang nikah mesti terlebih dahulu
tinggal dengan seorang gowok dalam waktu tertentu, umumnya 10 malam.
Selama masa pergowokan dijalankan, tentu dengan membayar sejumlah uang
yang besarnya ditentukan oleh kecantikan sang gowok, si jejaka akan
diajarkan perikehidupan rumah tangga. Termasuk diuji kegagahannya oleh
gowok agar nantinya tak mendapat malu ketika melakoni malam pengantin
baru.
Kisah dimulai oleh Romano dengan menggambarkan situasi perdebatan yang
terjadi pada anggota keluarga priyayi menyangkut professional dan kontra
terhadap imbauan adat. Tokoh Soeganda yang terpelajar lulusan sekolah
Belanda dan berpikir modern-day, menganggap gowokan sebagai tradisi
hina, musti ditinggalkan lantaran tak sesuai dengan norma kesantunan
masyarakat beradab.
Sedang Lurah Wira (sang ayah) bersikukuh bahwa gowokan musti
dipertahankan sebagai penghormatan pada peninggalan leluhur. Ia
berpandangan bahwa "gowok telah korbanken kasoetjiannja goena
kaberoentoengannja laen prempoan (Gowok. h. 10)".
Singkat cerita, yang tradisonal tak berhasil diruntuhkan pendiriannya
oleh yang modern-day. Soeganda word play here tak kuasa menolak imbauan
tradisinya. Ketika pergowokan dilaksanakan, peristiwa tak terduga
terjadi, Soeganda dan Soembangsih, 'gowok kembangja Banjoemas', justru
saling jatuh hati.
Cinta yang mekar di antara keduanya adalah trouble bagi keluarga priyayi
yang dapat berekor panjang berujung aib. Walau Soembangsih adalah gowok
nomor satu yang telah menaikkan gengsi keluarga Wirah di mata
masyarakat umum, namun menerima Soembangsih sebagai menantu adalah
ketololan.
Pasalnya asal usul sosial gowok tidak berakar dari kekerabatan,
ke-klien-an, garis darah yang sama dengan golongan darah biru kaum
priyayi.
Bila sebelumnya Lurah Wira merepresentasikan diri sebagai wali penjaga
tradisi gowok, selanjutnya Lurah Wira beralih posisi sebagai pihak
berkuasa yang mesti mempertahankan jati diri keluhuran priyayi.
Ujung-ujungnya, sebuah pergulatan sosial antara adat dan kelas penguasa
tak dapat dihindari. Demi menghindari aib, Lurah Wira lalu dikisahkan
menggunakan otoritas kekuasaanya: Soembangsih diminta enyah dari desa
Soediredja.
Terusirnya Soembangsih, adalah contoh di mana pihak yang kalah harus
menerima konsekuensi-konsekuensi sebagai si buruk atau si terusir. Si
kalah tahap demi tahap mesti dilupakan.
Akhir unique Gowok memang tak memuat keterangan lebih jauh tentang
kelanjutan tradisi Gowok usai Soembangsih enyah dari desa. Tahun 1985,
Ahmad Tohari (lahir di Banyumas, 13 Juni 1948) mengisahkan kembali nasib
keberlangsungan tradisi gowok di masa Indonesia merdeka.
Dalam novel Lintang Kemukus Dini Hari (buku kedua dari Trilogi Ronggeng
Dukuh Paruk-- selanjutnya disebut RDP) utamanya bab 4, Ahmad Tohari
bercerita bahwa orang-orang telah merasa asing bahkan tak mengenal lagi
adat gowokan.
Kisah itu bermula ketika seorang saudagar dari desa terpencil
Alaswangkal berniat mengundang Srintil untuk meronggeng sekaligus
menjadi gowok. Dalam novel itu ada pula anggapan tentang identitas gowok
yang berubah dan bertahan.
Gowok di satu sisi tak lagi dipandang sebagai perempuan yang telah
korbanken kasoetjiannja tetapi dianggap semata perempuan penjaja diri
(RDP. h. 201). Sedang di lain sisi, kecantikan dan kepopuleran seorang
gowok tetap ditanggapi sebagai tanda yang mampu menaikkan gengsi sosial
(RDP. h. 210).
Singkat cerita, akhirnya Srintil menerima tawaran sebagai gowok.
Uniknya, ketika Gowok dirayakan kembali, adat Banyumas lama ini
mengalami afirmasi overall. Pergowokan yang berarti pula penyerahan
keperjakaan seorang lelaki pada seorang gowok menjadi dalih pemakluman
bagi Srintil untuk membalas dendam pada malam bukak-klambu.
Tradisi yang menyayembarakan keperawanan calon rongeng pada siapapun
laki-laki yang mampu menyerahkan sejumlah uang yang telah ditentukan
oleh dukun ronggeng.
" ... menjalani malam bukak-klambu, sampaean terkena rudapaksa. Kini
tiba saat bagi sampean membuat perhitungan terhadap kaum lelaki!" kata
Nyai Kartareja mengingatkan kilas riwayat Srintil menjadi ronggeng.
Ronggeng sendiri adalah figur utama kebudayaan Banyumas yang tak lepas
dari ironi. Konon, menurut ingatan kolektif wong Banyumas ronggeng lahir
sebagai seni rakyat agraris bagian dari ritus kesuburan.
Abad ke-17, kehidupan agraris di Banyumas penuh risiko: pajak dan
pemerasan sewenang-wenang telah berakibat kosongnya separuh dari dua
puluh desa besar sepanjang lembah subur sungai Serayu. Dalam situasi
itu, ketika banyak penduduk meninggalkan Banyumas, ronggeng menjadi
satu-satunya figur budaya yang tetap bertahan.
Berdasar catatan Kapten Godfrey Baker dalam Memoir of a survey of the
royal prince's dominions of Java yang terbit pada 1816 (baca Peter Carey
dalam Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,
1785-1855 Jilid I. 2011), pada titi mangsa 1815, ronggeng menjadi
pemuas kesenangan bagi perpanjangan tangan keraton Surakarta yakni Raden
Tumenggung Yudonegoro.
Para elite keraton Jawa Tengah Selatan sendiri, sebagaimana ungkapan di
kalangan Indo-Belanda di kota kerajaan pada 1930-an, memang kerap
digambarkan memiliki kesenangan pada 'anggur dan perempuan' (baca Peter
Carey dan Vincent Houben dalam Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad
XVIII-XIX. 2016.h.23).
Posisi ronggeng sebagai penghibur dan penjamu tamu-tamu kerajaan di masa
kejayaan kerajaan-kerajaan Jawa juga disebut dalam penelitian Sunaryadi
berjudul Lengger Tradisi & Transformasi (ISI Yogyakarta, 2000).
Sunaryadi menyebutkan bahwa ronggeng sebagai penghibur telah digambarkan
dalam Serat Centhini Jilid 8, pupuh 456, bait 5-9. Beberapa bait itu
berbunyi begini:.
" Ronggeng Nander Aneracang/ ing pupu gya pinagolan// ... ki petinggi
tombokira/ patang wong ginegem tangan/ sinuwed jron kembenya ..."
(Ronggeng melangkah cepat/ segera dihambat pahanya/ ... bayaran dari si
petinggi/ emapat wang digenggam tangan/ disusupkan ke dalam penutup dada
...").
Dalam posisi sebagai penghibur pemangku kekuasaan, ada kemungkinan pada
masa itu ronggeng memiliki keuntungan atau hak-hak khusus dibanding kaum
tani Banyumas. Jika kemungkinan itu dijadikan pegangan, maka saat itu
ronggeng telah membuat ironi terhadap asal usulnya sendiri sebagai seni
rakyat di luar ekses peradaban negaragung. Kedudukan ronggeng justru
melayani arus utama negaragung ketimbang menjadi media perlawanan
rakyat.
Tetapi dalam posisi itu, tak serta merta ronggeng menjadi budaya elite.
Panggung ronggeng sesunguhnya tak pernah berpindah ke keraton tetapi
tetap di Banyumas. Ronggeng tetap di dusun di antara permainan judi yang
menjadi kegemaran lain Raden Tumenggung Yudonegoro yang digambarkan
sebagai tokoh paling hitam oleh Residen Inggris di Surakarta, Mayor J.M.
Johnson.
Hubungan antara gowokan dan ronggeng mengikhtisarkan sepenggal sejarah
masa silam yang memiliki satu kaitan yaitu berlakunya fenomena budaya
tubuh untuk mencapai identitas kultural tertentu. Utamanya tentang tata
laku aktivitas seksual sebagai pengait esensial untuk memenuhi prasyarat
menjadi gowok ataupun ronggeng.
Identitas kultural sebagai gowok dan ronggeng, di satu sisi telah
membuat Soembangsih dan Srintil dielu-elukan sebagai bintang yang dapat
mengangkat derajat sosial sebuah kelompok (priyayi). Namun di lain sisi
keduanya terbatasi untuk menjalani hidup umumnya perempuan normal.
Dalam novel Gowok, karena cinta terlarang Soembangsih pada akhirnya
menjadi orang terusir dari lingkup sosial desanya. Sedang Srintil dalam
RDP akhirnya menjadi gila secara mental karena mengidamkan sebuah
keluarga.
Akhir yang sama tragis dalam kisah dua unique di atas berpangkal pada
satu sebab: Tradisi seksual yang pernah terjadi pada masa silam tak
mengizinkan Gowok ataupun Ronggeng untuk merasakan ketentraman cinta dan
indahnya hidup rumah tangga selayaknya perempuan pada umumnya.
Komentar
Posting Komentar