Beberapa Jejak Pelarian Prabu Brawijaya Pada Saat Kerajaan Majapahit Diambang Kehancuran

JakartaSaat Kerajaan Majapahit berada di ambang kehancurannya, sang raja Prabu Brawijaya dan para prajurit yang tersisa mengasingkan diri ke kawasan Pegunungan Seribu yang sekarang masuk wilayah Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Di sana, Prabu Brawijaya bersama para pengikutnya yang tersisa menyebar ke berbagai tempat seperti Playen, Karangmojo, dan Ponjong. Sedangkan Prabu Brawijaya sendiri memilih bersembunyi di Pantai Ngobaran, Kecamatan Panggang.

Di pantai inilah, dia kemudian melakukan ritual pati obong (membakar diri) agar dia tak tertangkap Pasukan Demak. Dia pun kemudian mengakhiri hidupnya dengan cara moksa di Goa Langse.

Kisah tentang pelarian Raja Majapahit ini memang tidak tertuang dalam babad atau kitab-kitab kuno, namun disebarkan secara lisan di tengah-tengah masyarakat Gunungkidul dan diwariskan secara turun temurun.

Lalu seperti apa jejak-jejak yang ditinggalkan Majapahit di sana? Berikut selengkapnya:


Tempat Pelarian Majapahit


Dilansir dari Ugm.ac.id, selama ini memang belum ada temuan arkeologis yang menjadi bukti wilayah Gunungkidul sebagai tempat pelarian Majapahit. Bukti-bukti itu diambil dari cerita rakyat setempat yang diwariskan secara turun temurun hingga kini.

Salah satunya adalah cerita tentang Betara Katong yang dipercayai kebenarannya oleh penduduk yang tinggal di Dusun Betoro Kidul dan Desa Karangasem, Kecamatan Ponjong. Menurut sesepuh desa setempat, nama aslinya adalah Jaka Umbaran yang juga berasal dari Majapahit.

Setelah 15 tahun melarikan diri, Betara Katong dikisahkan melakukan moksa di Dusun Betoro. Kini, tempat dia moksa ditandai dengan bangunan cungkup yang terdapat di desa itu.

Leluhur Desa

Kisah tentang pelarian Majapahit juga diceritakan secara turun-temurun oleh warga di Desa Wiladeg, Karangmojo. Warga setempat percaya bahwa desa yang mereka tempati didirikan oleh salah seorang pelarian Majapahit bernama Mbah Gembong.

Ketua Dewan Budaya Desa Wiladeg, Gayus Maryono, mengatakan, Mbah Gembong merupakan pendatang dari Jawa Timur yang kemungkinan salah seorang prajurit Majapahit. Menurut Gayus, nama aslinya adalah Kertayuda dan merupakan seorang pemimpin sebuah pasukan.

Gayus bercerita, ketika sampai di wilayah Gunungkidul, Mbah Gembong bersama temannya, Ki Rau, membuka lahan untuk mendirikan sebuah pemukiman. Pemukiman itu didirikan tak jauh dari sumber mata air di Kali Banteng. Saat ini, warga di Wiladeg rutin menggelar tradisi bersih sungai di Kali Banteng tepat sebelum pelaksanaan penanaman padi.

"Ketika datang, Mbah Gembong tidak sendiri. Banyak teman dan saudaranya yang ikut. Salah satu jejaknya ada di Kali Banteng. Di sana terdapat situs yang disebut warga dengan nama arca Banteng," terang Gayus dikutip dari Karangmojo.desa.id.

Diwariskan Secara Turun Temurun


Kisah-kisah tentang pelarian prajurit Majapahit ini diceritakan pada banyak daerah lainnya di Kabupaten Gunungkidul. Di Pantai Ngobaran, Panggang, misalnya.

Masyarakat percaya bahwa tempat itu sebagai lokasi persembunyian Prabu Brawijaya dari kejaran bala tentara Demak. Ada pula kepercayaan masyarakat di Kecamatan Playen yang menyebutkan leluhur mereka adalah seorang pandai besi ulung dari Majapahit.

Tak hanya itu, tradisi lisan yang berkembang di Playen juga ditemukan dalam bentuk penuturan cerita yang telah tertulis dalam sebuah buku yang mengisahkan asal-usul Desa Gading. Kisah pada buku itu dibacakan setahun sekali oleh penduduk desa itu pada waktu Bulan Suro.

Asal Mula Mitos Pulung Gantung


Mitos Pulung Gantung merupakan mitos paling terkenal di Gunungkidul. Banyak masyarakat di sana percaya bahwa adanya mitos itu masih ada kaitannya dengan para pelarian Majapahit. Dikutip dari Uajy.ac.id, Sukardiyana, Kaur Tata Usaha Desa Planjan, Kecamatan Saptosari mengatakan, setelah Prabu Brawijaya melakukan moksa, para pengikutnya juga berusaha melakukan hal yang sama. Tapi tidak semuanya berhasil.

Akhirnya mereka yang tidak punya kemampuan untuk melakukan moksa memutuskan untuk melakukan gantung diri secara massal. Karena peristiwa gantung diri massal inilah, muncul energi negatif yang hingga saat ini masih berputar di atas wilayah Gunungkidul.

Energi ini berwujud bola api berekor yang dikenal dengan nama "Pulung Gantung". Fenomena ini dipercaya akan muncul sebagai tanda adanya warga yang akan melakukan bunuh diri akibat dilanda rasa frustasi berat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Haru Seorang Wanita Tua Belanda Mencari Rumah Masa Kecil di Magelang Setelah 76 Tahun

Karena Sering Kali Diejek, Seorang Pria di Jakarta Barat Tusuk Rekan Satu Tongkrongan

Beberapa Manfaat Daun Sungkai, Salah Satu Manfaatnya Untuk Meningkatkan Imunitas Tubuh