Kisah Akhir Perjalanan Dari Para Samurai

Jakarta - Ikut menentukan strategi sekaligus terjun langsung melawan militer Belanda, empat eks tentara Jepang akhirnya tertangkap di Legok Dora. Bagaimana detik-detik menjelang mereka diterjang peluru tentara Belanda? Inilah bagian terakhir penelusuran saya langsung dari Garut.

PERTENGAHAN Desember 1947, Perjanjian Renville disepakati oleh Indonesia dan Belanda. Sebagai konsekuensinya, dua bulan kemudian Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat guna menempati basis baru mereka di sebagian Jawa Tengah dan Yogyakarta. Situasi itu tentu saja tak terkecuali bagi Pasukan Pangeran Papak.

Namun sesampai di Yogyakarta, Mayor S.M. Kosasih memohon kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman agar sebagian anak buahnya menyusup kembali ke Garut dan Tasikmalaya. Itu dilakukan supaya perlawanan terhadap Belanda tetap berkobar dan tak berhenti.

"Usul itu dikabulkan oleh Pak Dirman,"ungkap Raden Oyo Suparjo, eks prajurit Pasukan Pangeran Papak. Kosasih yang diangkat menjadi staf di Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta lantas menyerahkan kepemimpinan Pasukan Pangeran Papak kepada wakilnya, Letnan Dua Raden Djuhana Sasmita.

Atas perintah Markas Besar Komando Djawa (MBKD), Pasukan Pangeran Papak kemudian membentuk komando gabungan dengan beberapa kesatuan gerilya lainnya di Garut: Pasukan Tarunajaya, Pasukan Banteng dan Pasukan Dipati Ukur.

"Mereka membentuk (Markas Besar) Gerilya Galunggung, yang bermarkas di hutan Gunung Dora, Parentas (perbatasan Garut-Tasikmalaya)," tulis A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid VII: Periode Renville.

Letnan Dua Djuhana terpilih sebagai komandan MBGG. Dia kemudian memilih 'para samurai' dari Pasukan Pangeran Papak untuk mendampinginya. Abubakar/Masharo Aoki (koordinator eks tentara Jepang di PPP) dipilih Djuhana untuk membawahi pelatihan militer. Sedangkan untuk bagian intelijen dan operasi tempur, Djuhana tetap mempercayakannya kepada duo Korea: Subarjo (Guk Jae-man) dan Komarudin (Yang Chil Sung).

Dalam gerakan bawah tanah di Jawa Barat, MBGG sendiri merupakan bagian dari Brigade Citarum pimpinan Letnan Kolonel Sutoko. Namun pada Agustus 1948, Sutoko terciduk militer Belanda sehingga pucuk pimpinan Brigade Citarum dialihkan kepada Letnan Dua Cucu Adiwinata, komandan Pasukan Tarunajaya.

Pertengahan Oktober 1948, kabar baik sampai ke telinga militer Belanda di Garut dan Tasikmalaya. Para telik sandi yang mereka sebar berhasil mendapatkan informasi legitimate mengenai keberadaan basis MBGG di wilayah Pegunungan Dora.

Persiapan operasi pun dilakukan. Sebagai eksekutor, dibentuklah satu tim buru sergap dari Batalyon ke-3 Resimen Infanteri ke-14 Divisi 7 Desember (3-14-RI). Mereka terdiri dari prajurit-prajurit yang sudah makan asam garam berbagai pertempuran dan penyergapan di berbagai tanah Jawa.

Pagi buta 25 Oktober 1948, tim tersebut diam-diam bergerak ke wilayah Parentas melalui Ciharus. Menjelang tengah malam, mereka sudah mengepung kedudukan MBGG di Legok Dora. Sebelumnya Parentas dibersihkan dari unsur-unsur Republik. Sehingga kedatangan tim tersebut tak sampai ke telinga Djuhana dan kawan-kawannya.

Sementara itu, sejak pukul 22.00, di markas MBGG, Djuhana, Yang Chil Sung (Komarudin), Aoki (Abubakar) dan Usman (Hasegawa), tengah terlibat dalam pembicaraan serius sekitar pengkondisian pasukan penyusup dan pembahasan taktik untuk melawan pasukan Negara Pasundan dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Di kamar yang lain, Guk Jae-man (Subarjo) tengah berbaring karena sakit. Di luar markas, penjagaan dilakukan oleh dua gerilyawan Woo Jong Soo (Adiwirio), Lee Gil Dong (Umar) serta 4 orang Jepang, salah satunya kerap dipanggil Sunario.

Malam semakin larut. Memasuki janari leutik (sekitar pukul 1.30), tiba-tiba peserta rapat dikejutkan dengan satu ledakan besar diiringi rentetan tembakan. Bersama itu, setelah melumpuhkan para penjaga, tim buru sergap Yon 3-14-RI langsung mendobrak pintu gubuk lantas menyeruak dengan acungan senjata masing-masing.

"Ayah saya yang sedang ngetik, tidak sempat meraih senjata. Mereka yang ada di ruangan itu kemudian langsung ditawan,"ujar Kanda, putra tertua dari Djuhana. Operasi penggerebakan Tim 3-14-RI itu berhasil menewaskan 3 orang Jepang dan meringkus Subarjo, Abubakar, Komarudin, Usman dan Djuhana. Adiwirio dan Soenario berhasil lolos.

Namun saat perjalanan menuju Parentas, Subarjo mencoba lari dan langsung dieksekusi. "(Subarjo) tertembak mati ..."tulis Djuhana dalam selembar catatan hariannya.

Haji Udin masih ingat bagaimana para tawanan itu digiring dari Legok Dora dalam tatapan duka para penduduk Parentas. Laiknya orang-orang berbahaya, mereka diperlakukan sangat ketat: tangan dan leher dibelenggu dengan "simpul Aceh", ikatan tali yang menjadi standar militer Belanda sejak period operasi militer di Aceh, gunanya membuat musuh yang tertawan tak berdaya dan mudah dikontrol.

"Saya melihat selain Pak Abubakar, tawanan lain ditutupi mukanya dengan sarung,"ungkap Haji Udin yang saat itu masih berusia 12 tahun. Di Desa Pameungpeuk, tetangga Parentas, rombongan militer Belanda yang membawa para tawanan beristirahat sejenak.

Sebelum pergi, mereka lantas membakar rumah-rumah yang pemiliknya dicurigai sebagai antek kaum gerilyawan Republik. Menurut Emen (94 ), salah seorang saksi mata kejadian itu, penentuan dibakar-tidaknya suatu rumah didasarkan atas petunjuk seorang bumiputera yang ikut militer Belanda saat itu. "Kami tahu dia orang Panyeredan (tetangga Pameungpeuk). Tak kami sangka ternyata dia anjing Belanda,"ujar Emen.

Para tawanan kemudian ditahan di Ciharus (markas tentara Belanda), sebelum dibawa ke Jakarta. Menurut catatan harian Djuhana, mereka kemudian dipisahkan: Abubakar, Komarudin dan Usman ditahan di Penjara Glodok sedangkan Djuhana dijebloskan ke Penjara Cipinang.

Empat bulan setelah Operasi Parentas, Bijzonder Krijgsgerecht (Pengadilan Militer Luar Biasa) di bawah Oditur Militer Letnan Kolonel W. Supheert memutuskan Abubakar, Komarudin dan Usman diganjar hukuman mati sedangkan Djuhana hanya mendapat hukuman penjara seumur hidup.

"Mereka dinyatakan bersalah karena dianggap telah melanggar kesepakatan Perjanjian Renville dengan secara sadar tetap tinggal di wilayah Jawa-Barat sambil menjalankan aksi-aksi mengacaukan keamanan. Mereka juga diyakini mempunyai rencana akan memimpin aksi gerakan penyerangan besar-besaran ke Garut dan Tasikmalaya pada 1 Januari 1949, atas instruksi dari Yogyakarta," demikian menurut De Locomotief, 22 Februari 1949.

Begitu vonis jatuh, 'para samurai' itu langsung dipindahkan ke Penjara Garut. Menurut Yoyo Dasrio salah seorang jurnalis yang sempat menelusuri kisah ini, sehari menjelang hukuman mati dilaksanakan, militer Belanda memberi kesempatan kepada mereka bertiga untuk membuat permintaan terakhir.

"Saya dengar sendiri dari Lebe (penghulu agama Islam) yang mengurus mereka bertiga menjelang kematian, saat menjalani hukuman mati mereka ingin berpenampilan seperti bendera Republik Indonesia: memakai sarung merah dan baju serta celana berwarna putih," ungkap Yoyo kepada saya pada 2015.

Garut masih dibekap kabut pagi ketika pada 21 Mei 1949 (berdasarkan berita yang dilansir dari surat kabar Het Dagblad, 24 Mei 1949 dan Nieuwe Courant, 24 Juni 1949), 'para samurai' itu dideretkan di pinggir Sungai Cimanuk yang masuk dalam wilayah komplek pemakaman Eropa (Kerkhof) di Garut. Di tanah yang jauh dari tempat kelahiran mereka, pada akhirnya 'para samurai' itu mesti menemui ujung hidup sebagai tumbal kemerdekaan tanah air kedua mereka: Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Haru Seorang Wanita Tua Belanda Mencari Rumah Masa Kecil di Magelang Setelah 76 Tahun

Karena Sering Kali Diejek, Seorang Pria di Jakarta Barat Tusuk Rekan Satu Tongkrongan

Beberapa Manfaat Daun Sungkai, Salah Satu Manfaatnya Untuk Meningkatkan Imunitas Tubuh